Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Selayang Pandang Kejahatan Pemilu

Diposkan oleh admin On 3:38 AM

_________________________________________________________________

OLEH

Boni Hargens[ii]

(Kumpulan Materi Sekolah Kader Nasiona [SKN]) PB PMII Tahun 2009 di Bogor

Pengantar

Istilah electoral crime dipakai dalam studi ilmu politik untuk menjelaskan segala bentuk praktek pidana yang terjadi dengan sengaja dalam keseluruhan proses pelaksanaan pemilu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejahatan memiliki empat arti: 1 perbuatan yang jahat: korupsi, merampok, dan mencuri merupakan kejahatan yang melanggar hukum; 2 sifat yg jahat; 3 dosa; 4 perilaku yg bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yg telah disahkan oleh hukum tertulis. Secara leksikal, kejahatan cendrung mengacu pada sesuatu tindakan jahat yang diatur dalam hukum tertulis. Namun kejahatan pada dirinya dapat dikategorikan atas mala in prohibita atau kejahatan menurut hukum perundang-undangan dan mala in se atau kejahatan pada dirinya.

Dalam konteks pemilu, dan terutama dalam tulisan ini, kejahatan tidak saja dipandang sebagai sesuatu tindakan yang diatur oleh undang-undang tetapi juga mencakup segala tindakan yang pada dirinya jahat. Atau dengan kata lain, istilah kejahatan dalam tulisan ini mengacu pada pengertian yang lebih normatif.

Istilah yang hampir sama adalah electoral fraud atau “penipuan dalam pemilu”, atau lebih khusus lagi vote(r) fraud. Banyak ilmuwan politik malah lebih sering memakai term fraud ketimbang crime.

Lepas dari persoalan istilah, yang penting adalah praktek curang/manipulative sering terjadi dalam pemilu meskipun tak mudah dan bahkan jarang terungkap. James Burk (2006) menulis buku berjudul The Electoral Crime dengan menggunakan data hasil laporan Hursti tentang praktek penipuan suara dalam pemilu di Brazil tahun 2005[iii]. Di antara berbagai sebab mengapa kejahatan dalam proses elektoral sulit terungkap, kekurangan bukti dan saksi, kata Burk, adalah yang paling mendasar dalam pengungkapan setiap kasus kejahatan pemilu[iv].

Di Amerika Serikat, berdasarkan laporan pemantau independen pemilu 2004, terjadi praktek pidana dengn modus menghilangkan registrasi pemilih, menyesatkan informasi letak TPS di daerah-daerah pemukiman kulit hitam, menghilangkan kartu pemilih, dan membagi-bagi uang. Dalam pemilu anggota the House of Councillors di Jepang pada Juli 2000, pernah terjadi kejahatan pemilu besar-besaran dengan jumlah 552 kasus. Kasus terbesar adalah kategori penyogokan 390 kasus dan penyimpangan administrasi 36 kasus. Jumlah yang diperkarakan adalah 1375 orang.

Kenapa Curang?

Peter Jones dalam bukunya Fraud and Corruption in Public Services menjelaskan dua faktor yang membidani lahirnya praktek kejahatan dalam pemilu, yaitu (1) motivasi dan (2) kesempatan[v]. Kedua fator ini saling mendukung. Adanya motif tertentu tidak dapat diwujudkan jika kontigensi atau peluang tidak ada.

Peluang bisa terciptakan karena kelemahan perangkat legal seperti UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Pilpres, dan UU Penyelenggara Pemilu. Peluang juga bisa tercipta karena rendahnya integritas institusi electoral seperti KPU, Bawaslu, termasuk Kepolisian dan Kejaksaan. Kasus Bengkulu Selatan di Indonesia pada 2008 kemarin adalah contoh jelas dari kerapuhan institusi elektoral. Seorang bekas pembunuh yang pernah dihukum lebih dari lima tahun bisa menjadi calon bupati dan malah terpilih (Bdk. UU 32/2004)[vi]. Kasus ini produk dari pidana konspirasi dalam pemilu.

Praktek Pidana Pemilu

Dalam praktek umum di dunia, pidana pemilu terjadi dalam sejumlah tehnik yaitu:

a. Electorate manipulation

b. Intimidation

c. Vote buying

d. Misinformation

e. Misleading or confusing ballot papers

f. Ballot stuffing

g. Misrecording of votes

h. Misuse of proxy votes

i. Destruction or invalidation of ballots

Manipulasi Elektorat

Praktek manipulasi biasanya terjadi setelah masa kampanye selesai dan umumnya terjadi dalam tiga bentuk, yakni gerrymandering, manipulasi data penduduk, dan disenfranchisement atau penghilangan hak pilih secara sengaja.

· Gerrymandering

Adalah Memberi kesempatan dengan curang kepada suatu partai politik atau kandidat tertentu dalam pemilihan dengan menggunakan strategi pembagian daerah pemilihan (dapil). Dengan kata lain, penetapan batas-batas cakupan suatu dapil dan jumlah dapil merupakan manipulasi untuk menguntungkan partai atau kandidat tertentu. Gerrymandering sendiri sebetulnya mengandung pengertian yang netral. Namun, dalam praktek, pembagian dapil tidak luput dari penyusupan kepentingan parsial sehingga gerrymandering pun mengandung pengertian negatif seperti dipahami dalam tulisan ini.

Sebagian mengatakan, gerrymandering per se tidak bisa dikatakan kejahatan, melainkan lebih tepat sebagai ruang lingkup tempat dimana terproduksi berbagai bentuk pelanggaran dan kejahatan dalam pemilu. Argumentasi ini benar, tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa gerrymandering itu sendiri adalah kejahatan ketika dasar dan strategi pembagian dapil adalah kepentingan yang curang.

· Manipulasi Demografis

Manipulasi data penduduk, misalnya dengan memusatkan penduduk yang berorientasi politik pada suatu partai tertentu di wilayah yang dikuasai oleh partai yang bersangkutan. Konteks ini lebih sering terjadi di daerah perkotaan (urban voters). Dalam pengertian yang luas, praktek manipulasi demografis bisa terjadi di daerah melalui strategi pemekaran provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. Ana Raquel Santamaría Castrellón, seorang jaksa perempuan yang cerdas dari Panama, menulis The Change of Domicile as an Electoral Crime dalam jurnal Mundo Elektoral. Ia membenarkan hipotesis bahwa penataan ruang penduduk berkaitan dengan kepentingan politik dalam pemilu[vii].

· Penghilangan secara Sengaja Hak Pilih

Pidana pemilu kategori ini dilakukan sebelum masa kampanye terbuka karena permainan berlangsung di wilayah teknis pengadaan kartu pemilih atau surat suara. Modusnya bisa berupa tidak diberikan kartu suara atau surat suara yang terbatas.

Intimidasi

Tekanan terhadap pemilih atau sekelompok pemilih . Intimidasi dilakukan dalam beragam bentuk:

  • Kekerasan: pemilih atau sekelompok pemilih ditekan oleh partisan atau tim sukses suatu partai/kandidat untuk memilih calon/partai tertentu dengan ancaman kekerasan fisik jika tidak menaati kehendak pelaku intimidasi.
  • Serangan di tempat pemungutan: bisa berupa spanduk gelap, kampanye hitam melalui orang-orang tertentu yang disusupkan ke TPS, atau melalui serangan bom.
  • Legal threats: pemilih diancam hukuman penjara atau sanksi kehilangan jabatan/pekerjaan jika tidak memilih calon/partai tertentu. Praktek ini umumnya melibatkan pemegang otoritas hukum dan politik di suatu daerah pemilihan. Sebagai contoh, tahun 2004 di Wisconsin, AS ada spanduk yang bunyinya:If you already voted in any election this year, you can’t vote in the Presidential Election. If anybody in your family has ever been found guilty of anything you can’t vote in the Presidential Election. If you violate any of these laws, you can get 10 years in prison and your children will be taken away from you.”
  • Economic threats: intimidasi kategori ini sering dipraktekkan oleh tuan tanah dalamn masyarakat agraris atau pemilik perusahaan dalam masyarakat industrial. Tuan tanah dan pemilik modal adalah mesin politik. Mereka bekerja untuk suatu partai atau kandidat dengan melakukan intimidasi terhadap pekerja.

Vote buying

Praktek ini paling mudah dan paling sering digunakan. Modus bisa melibatkan calo suara yakni orang tertentu yang memiliki otoritas mengendalikan sekelompok pemilih atau bisa juga dengan melibatkan penyelenggara dan pengawas pemilu.

Misinformation

Pemilih diberi informasi yang sesat tentang lawan atau partai tertentu. Dalam praktek, misinformasi terjadi melalui smear campaigns. Tahun 2007 di Inggris, Miranda Grell dipidana atas kampanye hitam karena menuduh lawan politiknya dengan tuduhan fiktif. Contoh lain, Orde Baru dulu menuduh PDI sebagai “PKI” sehingga muncul sentimen antipatik terhadap PDI di tengah masyarakat politik. Termasuk di sini adalah pemakaian istilah “Cina” untuk warga etnis Tionghoa dalam rangka agenda a-politisasi kelompok Tionghoa oleh rejim Soehartoisme. Term “Cina” identik dengan RRC-nya Mao Tze Dong.

Misleading or confusing ballot papers

Surat suara dirancang sedemikian rupa supaya menimbulkan kebingungan bagi pemilih terhadap partai atau kandidat tertentu. Strategi ini sering dipakai oleh elite politik yang merasa diri popularitasnya tinggi dan memiliki kedekatan dengan pihak penyelenggara pemilu.

Ballot stuffing

Seseorang memilih lebih dari 1 kali. Suatu fenomena yang dalam pilkada di Indonesia sering disebut dengan istilah pemilih siluman (ghost voters). Memilih dobel mungkin terjadi karena seseorang dapat memiliki KTP lebih dari satu atau karena seseorang bisa berpindah dari TPS yang satu ke TPS yang lain dengan menggunakan identitas yang sama atau pun yang berbeda. Modus lain, dan ini melibatkan pengawas di TPS, seorang pemilih diberi lebih dari 1 surat suara pada saat ada dalam TPS. Saya temukan kasus ini dalam pilkada 26 Juni 2005 di Depok. Di Kelurahan Beji, tim kami juga menemukan ribuan kartu pemilih dengan inisial seragam (e.g. J, K, L).

Misrecording of votes

Rekapitulasi suara bisa dimanipulasi dengan memasukkan data yang “keliruZ” mulai dari TPS sampai ke tabulasi di KPU Pusat. Pencurian suara juga terjadi dengan modus yang sama. Misalnya partai A mendapat 5.000 suara sedangkan partai B memperoleh 200 suara. Dalam pencatatan oleh petugas, satu angka 0 dari partai A dipindahkan ke B sehingga menjadi 2.000 sedangkan A menjadi 500 suara. Ketika diungkap, kasus macam ini sering diabaikan dengan alasan exuce terkait kekeliruan teknis atau beban kerja yang berlebihan.

Misuse of proxy votes

Istilah “proxy votes” mengacu pada suara pemilih yang tidak bisa datang ke TPS karena alasan tertentu seperti lumpuh, buta, atau sedang dirawat sakit. Biasanya petugas mendatangi pemilih yang bersangkutan untuk menanyakan pilihannya. Pidana terjadi ketika petugas mengalihkan suara yang bersangkutan ke partai atau kandidat pilihannya (petugas). Di Inggris belakangan ada aturan bahwa seorang petugas tak boleh mewakili lebih dari dua pemilih dan suara pemilih yang bersangkutan dilimpahkan melalui anggota keluarga atau orang dekatnya.

Destruction or invalidation of ballots

Praktek destruksi atau invalidasi dilakukan dengan menghilangkan atau mencoret nomor urut partai/kandidat tertentu atau mengaburkannya sedemikian rupa sehingga tidak begitu jelas di mata pemilih. Praktek ini amat sulit dilakukan tetapi terjadi dalam sejumlah praktek.

Indonesia?

Jumlah pemegang ijasah ujian penyetaraan SLTA melonjak tajam dari 6.417 tahun 2002 menjadi 59.714 tahun 2004[viii]. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah politisi yang maju dalam pencalonan legislatif maupun eksekutif, dari pusat sampai daerah. Data yang cukup fantastis ini berbanding lurus dengan eskalasi laporan kasus pidana pemilu (60%) pasca pemilu 2004.

Salah satu kasus adalah klaim Wiranto-Wahid soal hilangnya 5.438.660 suara di 26 provinsi pada pilpres 2004. Wiranto-Wahid menggugat ke MK. Dalam perkara No 062/Phpu/bII/2004, tim Wiranto-Wahid turut menggugat terbitnya surat edaran KPU No 1151 tentang pengesahan surat suara tercoblos tembus yang ditandatangani Anas Urbaningrum dan surat edaran No 1152 tentang penghitungan suara ulang di TPS. Selain itu, mereka juga menggugat aksi money politics yang dilakukan oleh salah seorang kontestan pilpres di PTPN XX Jawa Barat dan penayangan hasil perolehan suara melalui situs http://tnp.go.id/
Atas masing-masing gugatan tersebut, MK mengakui bahwa terbitnya surat edaran No 1151 dan No.1152 telah menimbulkan kontroversi yuridis teradap surat suara sah.
Mengenai politik uang di PTPN XX Jawa Barat, di dalam persidangan terungkap terjadinya praktek haram itu. Namun, jumlah suara hilang yang didalilkan tidak signifikan mengubah ranking perolehan suara Wiranto-Wahid.

Hipotesis tentang eskalasi penipuan elektoral dalam pemilu 2009 didasarkan pada dua argumentasi. Pertama, independensi institusi elektoral, seperti KPU dan Bawaslu, diragukan[ix]. Dari proses rekrutmen anggota KPU, yang melibatkan otoritas partai melalui kadernya di DPR dalam mekanime fit and proper test, jelas bahwa seorang anggota KPU harus didukung oleh partai tertentu. Di sinilah ruang politisasi terhadap peran netral KPU amat mungkin. Di tingkat daerah, kasus Bengkulu Selatan sudah menjadi preseden faktual. Bawaslu juga demikian. Apalagi kalau melihat kiprah Bawaslu yang kurang kritis terhadap iklan politik dan dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan oleh incumbent.

Kedua, pidana pemilu sulit dibuktikan di pengadilan. Fakta bahwa pidana pemilu sulit diadili menciptakan ruang kondusif bagi suburnya praktek kejahatan dalam pemilu.

END NOTES



[i] Materi untuk memperkaya diskusi Pokjasus Dewan Ketahanan Nasional RI, bertajuk “Kajian Lanjut secara Komprehensif Amandemen UUD 1945 sebagai Sumbangan Bahan bagi MPR RI 2009 dalam rangka Mengantisipasi Kemungkinan Bahaya yang Mengancam Keamanan Internal dan Bencana Sosial” yang diselenggarakan pada 25-26 Februari 2009 di Hotel Sahid, Jakarta.

[ii] Boni Hargens adalah dosen Ilmu Politik UI, Dosen Universitas Petra Surabaya, Direktur Pusat Pengkajian Strategis Merdeka (PPSM) dan Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)

[iii] James Burk, The Perfect Electoral Crime, (New York: 2006)

[iv] Ibid.

[v] Peter Jones, Fraud and Corruption in Public Services, a Guide to Risk and Prevention, (New York: Gower Publishing, 2004)

[vi] UU No 32 tahun 2004 yang merupakan revisi atas UU 22 tahun 1999 menetapkan ketentuan larangan bagi calon bupati/walikota yakni tidak pernah dihukum dengan kekuatan hukum tetap dari pengadilan negara RI selama lebih dari lima tahun.

[vii] Ana Raquel Santamaría Castrellón, The Change of Domicile as an Electoral Crime, dalam Jurnal Mundo Elektoral, Terbitan I, Desember 2008.

[viii] Harian Kompas tanggal 21 Januari 2004

[ix] Lih. Boni Hargens, Paradoks Demokrasi Permukaan, Harian Kompas tanggal 27 Januari 2009