
sikap kami, " TOLAK PLTN "
Menentang pembangunan PLTN... sumber energi lain masih banyak, kok tidak dimanfaatkan... contoh yang banyaaaakkkk di negara kita adalah panas bumi, matahari (all year long gitu loh), angin, laut... sumber energi itu: 1. akan ada selamanya 2. energi bersih (artinya tidak banyak LIMBAH-nya) 3. ramah lingkungan... kalau kita buat PLTN... kemana akan buang limbah radioaktifnya? yang simple saja tidak bisa, apalagi yang sangat membutuhkan skill khusus seperti ini...
BERITA PMII “HARI INI”
Oleh: Wartawan Gadhungan
Jepara, Jumat, 17 April 2009
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merayakan Harlah (Hari Lahir) yang ke-49 pada tanggal 17 April 2009. Sebagai implementasi rasa syukur atas usia ini, Pengurus Cabang PMII Jepara semalam mengadakan agenda “Refleksi Bersama” di halaman Kantor PC PMII (Jl. Pemuda No 45 Jepara). Panitia mengangkat tema “Refleksi Pemilu di Jepara; Dulu, Kini, dan yang Akan Datang”. Acara yang dikoordinatori oleh Sahabat Alimin Arhab ini diikuti oleh semua kader PMII Jepara mulai level Cabang, Komisariat, hingga Rayon. Selain itu, hadir pula para alumni PMII Jepara yang tergabung dalam IKAPMII (Ikatan Alumni PMII).
Dalam orasi ilmiahnya, Sahabat Subhan Zuhrie, S. PdI. mengatakan bahwa pemilu tahun 2009 ini sebagaimana penilaian banyak kalangan merupakan pemilu terburuk sepanjang sejarah bangsa. Raport merah tersebut terindikasi dari tidak up date nya daftar Pemilih Tetap (DPT) sehingga menyebabkan ribuan hak pemilih terberangus. Mantan Ketua Umum PC PMII Jepara periode 2006-2007 ini juga memberikan spirit pergerakan bagi kader PMII Jepara.
“Jangan menunggu lima tahun ke depan untuk berkiprah dalam pesta demokrasi. Sahabat-sahabat harus selalu siap kapan pun dan di mana pun, ketika rakyat sedang membutuhkan”, ujar kader PMII asal Temanggung yang juga sebagai Pengurus Koordinator Cabang PMII Jawa Tengah periode 2008-2010 ini.
Berbeda dengan Bang Ucup (sapaan akrab Sahabat Subhan Zuhrie), Mayadina Rahma Musfiroh, MA. sebagai narasumber ke dua lebih menyoroti problematika pemilu sebagai ajang terbukanya “liberalisasi politik”. Dengan sistem demokrasi sekarang, cukup para politisi bergelimang duwit lah yang mampu berkompetisi merebutkan kursi parlemen. Ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah para caleg perempuan karena banyak dari mereka (meskipun mempunyai kapabilitas) kalah sebelum bertanding hanya karena tidak punya modal.
“Sistem demokrasi prosedural yang kita anut selama ini semakin membuka peluang terjadinya liberalisasi politik. Akibatnya, politik kapital (politik uang) marak dilakukan oleh para caleg. Yang bisa menjadi wakil rakyat adalah cuma mereka saja yang punya banyak duwit”, papar perempuan berkaca mata yang saat ini masih dipercaya menjadi Direktur LAKPESDAM NU Jepara.
Pembicara terakhir pada forum ini adalah Sahabat Ahmad Rifa’i, S. HI. Alumni PMII nyentrik ini merefleksikan bagaimana proses panjang dirinya memutuskan terjun langsung dalam politik praktis. Pak Kocang –sapaan akrab beliau- menjelaskan bahwa politik tidak lain hanya dipandang sebagai alat untuk mengambil kebijakan atau political of policy maker. Sehebat apa pun perjuangan sahabat-sahabat di akar rumput, jika tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan populis yang terlahir melalui proses dinamika politik, maka hasil yang tergenggam kurang optimal.
Sebelum orasi ilmiah dari ke tiga nara sumber di atas, peringatan harlah ini dimulai dengan takhtim Al Qur’an yang diikuti 60 kader PMII Jepara. Kemudian dirangkai dengan pembacaan puisi perjuangan oleh sahabat-sahabat yang tergabung dalam komunitas Sanggar Seni “ELING” PC PMII Jepara, dan ditutup oleh penampilan group music “Bandt@” (Band Of Tarbiyah) INISNU Jepara. [P_S].
Kecelakaan Nuklir yang Pernah Terjadi
Menentang pembangunan PLTN... sumber energi lain masih banyak, kok tidak dimanfaatkan... contoh yang banyaaaakkkk di negara kita adalah panas bumi, matahari (all year long gitu loh), angin, laut...
sumber energi itu: 1. akan ada selamanya 2. energi bersih (artinya tidak banyak LIMBAH-nya) 3. ramah lingkungan...
kalau kita buat PLTN... kemana akan buang limbah radioaktifnya? yang simple saja tidak bisa, apalagi yang sangat membutuhkan skill khusus seperti ini...
contohnya seperti dibawah ini:
23 Juli 2007
Gempa, kebakaran dan kebocoran nuklir di Jepang
Kashiwazaki, Jepang — Gempa berskala 6.8 skala Richter mengguncang instalasi nuklir terbesar di Dunia hari Senin yang lalu (July 17), mengakibatkan terbakarnya sebuah transformer. Setelah kejadian tersebut, laporan-laporan tentang kebocoran-kebocoran lain di instalasi tersebut mulai terkuak.
Awalnya, pemilik PLTN yakni Tokyo Electric Power Company (TEPCO) menyatakan bahwa tidak terjadi kebocoran radioaktif. Namun setelah itu TEPCO mengakui adanya kebocoran kecil air yang mengandung material radioaktif. Ternyata volume kebocoran tersebut ditemukan lebih besar dari yang dilaporkan, dan air tersebut juga mengandung 50 persen lebih banyak kandungan material radioaktif dari yang semula diakui. Lebih jauh lagi, terungkap bahwa raturan barel-barel yang menyimpan limbah nuklir ternyata terguling akibat gempa dan puluhan tutupan barel-barel tersebut terlepas. Terungkap juga bahwa kandungan cobalt-60 dan chromium-51 terlepas ke atmosfir melalui cerobong pembuangan.
Sebuah Keberuntungan?
Tidaklah pantas mereka yang menyatakan bahwa masyarakat Kashiwazaki masih beruntung akan tidak lebih besarnya dampak gempa Senin kemarin. Ratusan masyarakat luka-luka akibat gempa dan sedikitnya 9 orang meninggal dan ribuan lainnya harus mengungsi. Bila saja salah satu dari empat reaktor yang ada mengalami gagal-fungsi pada sistem ‘coolant’ atau pendinginnya, akan terjadi bencana yang lebih besar lagi.
Berikut kutipan dari Citizens’ Nuclear Information Center:
Walaupun telah dilakukan penghentian operasional secara otomatis ketika gempa terjadi, bahan bakar di dalam pusat reaktor masih dalam keadaan sangat panas dan masih memerlukan aliran pendingin. Bila tidak, bahan bakar tersebut dapat meleleh dan melepaskan material-material radioaktif ke lingkungan sekitarnya. Dalam konsisi tertentu ledakan dapat juga terjadi.
TEPCO masih belum mengungkapkan apakah sistem transformer masih terus dioperasikan dan apakah generator darurat difungsikan.
Menurut koran Jepang Yomiuri Shimbun, TEPCO telah mengakui bahwa sistem tanggap darurat mereka tidak sepenuhnya sukses berfungsi dan pada saat bencana terjadi hanya empat pekerja yang ada untuk memadamkan api yang berkobar selama dua jam..
Tidak mengejutkan lagi
Dampak guncangan-guncangan yang terjadi ternyata lebih parah dari yang telah diperkirakan pada tahap PLTN tersebut dirancang-bangun, dan telah ada indikasi-indikasi baru bahwa ada jalur gempa yang sebelumnya tidak diketahui di bawah lokasi pembangkit nuklir itu. Jepang merupakan salah satu dari negara-negara di dunia yang rentan terhadap gempa, dan juga negara yang bergantung pada energi nuklir. Kedua hal tersebut bukanlah merupakan kombinasi yang bagus.
Lambatnya laporan-laporan tentang kebocoran-kebocoran maupun tumpahnya limbah tidak mengagetkan pada pemantau industri nuklir lagi. Namun hal itu kelihatannya semakin menguji kesabaran Pemerintah Jepang terhadap industri yang penuh skandal dalam dasawarsa terakhir ini.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan, “Mereka terlalu lambat memberi sinyal darurat. Saya telah memberikan instruksi tegas bahwa sinyal bahaya harus dikeluarkan secepat mungkin dan seserius mungkin.” Lanjut Abe, “Mereka yang terlibat harus melihat kembali dampak perbuatan mereka.”
"Tenaga nuklir hanya dapat beroperasi dengan dukungan penuh dan rasa percaya masyarakat,” ungkap Abe pada media.
Tanggapan Perdana Menteri Abe di atas menunjukkan bahwa industri nuklir Jepang telah merusak rasa percaya masyarakat negara tersebut.
Energi nuklir tidak pernah aman, dan selalu menjadi lebih buruk akibat kombinasi kebohongan publik, penutupan fakta serta lokasi jalur gempa.
Telah Banyak Pelajaran
Industri nuklir di Jepang, khususnya TEPCO, tidaklah awam dalam menghadapi skandal-skanda.
Pada tahun 2002, tiga pejabat tinggi TEPCO mengundurkan diri setelah mengakui bahwa perusahaan itu telah melanggar regulasi-regulasi keselamatan dan juga telah memalsukan dokumen-dokumen di tiga instalasi pembangkit mereka (termasuk Kashiwazaki). Seluruh 17 reaktor TEPCO dipaksa tutup setelah intestigasi tersebut. Kebohongan-kebohongan publik industri tersebut ternyata telah berlangsung sejak tahun 1980an.
Contoh-contoh lain:
Maret 2007 – Terkuak bahwa fasilitas nuklir Hokuriku tidak mengungkapkan kepada publik maupun para pengawas nuklir tentang satu insiden serius di pembangkit nuklir mereka di Shika yang pada tanggal 18 Juli 1999 gagal mengontrol fungsi pipa mereka.
April 2006 – Terjadi tumpahan cairan radioaktif yang mengandung plutonium sebanyak 40 liter di sebuah instalasi pengolah nuklir di Rokkasho-Mura.
Agustus 2004 – Ledakan pipa di pembangkit nuklir Mihama mengakibatkan 5 pekerja meninggal dunia.
July 2002 – Kiriman butir-butir plutonium ditolak Jepang setelah terkuak bahwa British Nuclear Fuels memalsukan dokumen tentang prosedur keamanan dalam proses produksinya.
September 1999 – Kesalahan prosedur di Tokaimura menyebabkan lepas kontrol operasi selama tiga hari. Tiga pekerja meninggal setelah mengalami radiasi dan masyarakat setempat dievakuasi.
GREENPEACE adalah organisasi kampanye yang independen, yang menggunakan konfrontasi yang kreatif dan tanpa kekerasan untuk mengungkap masalah lingkungan hidup, dan mendorong solusi yang diperlukan untuk masa depan yang hijau dan damai.
posting asli di sini
Demonstrasi Warga Balong
Pro-kontra menyoal PLTN kembali marak. Polarisasi pro-kontra ini terpaku pada dua kelompok: pendukung dan penolak. Kelompok pertama diwakili oleh para ilmuwan nuklir dan pakar PLTN, serta penggerak industri nuklir. Selebihnya, mengampanyekan diri sebagai penolak pembangunan instalasi dan pengoperasian PLTN di Indonesia. Umumnya, kelompok kedua diwakili oleh warga sekitar Muria, akademisi, ekolog, aktivis lingkungan hidup, budayawan, juga seniman yang melek lingkungan.
Argumentasi yang diusung oleh kelompok pertama, didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh sebuah Tim Nasional di bawah koordinasi BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan dukungan IAEA (The International Atomic Energy Agency), bertajuk Comprehensive Assessment of Different Energy Resources for Electricity Generation in Indonesia (CADES) di penghujung masa 1998. Penelitian ini dilatari oleh krisis multidimensi yang mendera Indonesia, sehingga dipandang cukup beralasan untuk melakukan evaluasi kembali tentang kebutuhan (demand) dan penyediaan (supply) energi, khususnya energi listrik di Indonesia.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi di Indonesia diproyeksikan meningkat di masa mendatang. Kebutuhan energi final (akhir) akan meningkat dengan pertumbuhan 3,4% per tahun dan mencapai jumlah sekitar 8146 Peta Joules (PJ) pada tahun 2025. Jumlah ini adalah sekitar 2 kali lipat dibandingkan dengan kebutuhan energi final di awal studi tahun 2000.
Ide muasal pembangunan dan pengoperasian PLTN dimulai sedari 1956 dan mengkristal pada tahun 1972, dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Inisiasi ini diawali melalui seminar-seminar di Bandung, Yogyakarta, dan Karangkates, Jawa Timur. Dari pelbagai seminar ini, dipilih 14 lokasi PLTN. Melalui proses panjang, akhirnya mengerucut menjadi 5 lokasi, hingga berujung pada 1 lokasi utama, yakni Semenanjung Muria.
Pada tahun 1985, pekerjaan dimulai dengan melakukan reevaluasi dan pembaharuan studi yang sudah dilakukan dengan bantuan IAEA, Pemerintah Amerika Serikat melalui perusahaan Bechtel International, Perusahaan Perancis melalui perusahaan SOFRATOME, dan Pemerintah Italia melalui perusahaan CESEN. Dokumen yang dihasilkan dan kemampuan analitik yang dikembangkan dengan program bantuan kerjasama tersebut sampai saat ini masih menjadi dasar pemikiran bagi perencanaan dan pengembangan energi nuklir di Indonesia, khususnya di Semenanjung Muria.
Pada tahun 1989, Pemerintah Indonesia melalui Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) memutuskan untuk melakukan studi kelayakan yang komprehensif, termasuk investigasi secara mendalam tentang calon tapak PLTN di Semenanjung Muria Jawa Tengah. Pelaksanaan studi itu sendiri dilaksanakan di bawah koordinasi BATAN, dengan arahan dari Panitia Teknis Energi (PTE), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dan dilakukan bersama-sama oleh beberapa instansi lain di Indonesia.
Belajar dari sejarah nuklir
Berkebalikan dengan kelompok pro PLTN, kelompok kontra PLTN beranggapan bahwa PLTN tak kalah menakutkan ancamannya, yakni musibah nuklir, terorisme, dan pembuangan limbah radioaktif dan radiotoksik, yang berumur amat panjang, yakni 10.000 tahun. Selain itu, PLTN juga tidak dapat dijamin keamanannya. Kecelakaan Three Miles Island di Amerika Serikat (1976) dan di Chernobyl, Rusia (1986), adalah fakta betapa berbahayanya PLTN.
Baru-baru ini, PLTN Kashiwazaki-Kariwa, Jepang, mengalami kebocoran akibat gempa bumi berskala 6,8 Richter (Senin, 16 Juli 2007). Akibat bencana alam itu, perusahaan sumber daya listrik Tokyo (TEPCO) menyebut radiasi pada kebocoran air mencapai sekitar 90.000 becquerels. Selain itu, juga dilaporkan bahwa 438 tong pakaian dan sarung tangan tercemar radioaktif bergulingan akibat gempa dan 40 di antaranya terbuka. Tak ayal, hal ini menjadi petikan pelajaran yang amat berharga bagi rencana pembangunan PLTN di Muria. Terlebih, Indonesia rawan gempa bumi.
Jika negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Swedia, dan sebagainya, perlahan menutup operasi PLTN, maka Pemerintah Indonesia seharusnya menimbang-ulang rencana pembangunan instalasi dan pengoperasian PLTN di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, yang dijadwalkan beroperasi pada 2016-2017, dengan kapasitas 4.000-6.000 megawatt.
Mengacu pada studi Australian National University yang dipublikasi sebelas tahun silam, jika terjadi kecelakaan dengan PLTN Semenanjung Muria, dalam hitungan hari debu radioaktif akan menyebar ke wilayah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Jika bencana itu berlangsung antara Oktober–April, kawasan sejauh Australia pun ikut terkena dampak.
Berkaca pada fakta PLTN dunia, perlu diakui, penggunaan teknologi nuklir dinilai relatif murah sebagai alternatif dalam upaya pengadaan listrik. Namun, di sisi lain, teknologi nuklir mengandung bahaya bagi kemanusiaan. Program senjata nuklir merupakan mimpi buruk yang mengancam kemanusiaan.
Dalam berbagai insiden radiasi dan kebocoran radioaktif juga sudah terlihat betapa bahayanya reaktor nuklir. Insiden bisa disebabkan oleh bencana alam, seperti kasus kebocoran PLTN Kashiwazaki-Kariwa, atau kelalaian manusia seperti kasus Chernobyl.
Tentu, Tepco sebagai operator sudah memerhatikan standar keamanan tinggi bagi PLTN Kashiwazaki-Kariwa. Terlebih, Jepang masyhur sebagai negeri seribu gempa. Namun, kelengkapan keamanan tingkat tinggi tak dapat mereduksi ancaman kebocoran radioaktif tetap saja terjadi. Tak mengherankan, jika wacana pembangunan PLTN di Indonesia ditentang oleh warga Muria, Jawa Tengah. Tentangan itu didasarkan pada posisi Indonesia yang berada di atas lintasan cincin api, ring of fire, dan memiliki banyak gunung api. Belum lagi mental dan budaya teknologi bangsa Indonesia yang dinilai amat lemah, juga rendah.
Tiga hak publik
Silang sengketa suara publik menyangkut rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, menyembulkan pesan keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan. Inilah wujud dari kewargaan teknologi. Dengan kata lain, di negara demokratis, persetujuan masyarakat terhadap pilihan teknologi adalah syarat mutlak dalam kekuasaan (governance) teknologi. Yaitu demokratisasi sistem teknologi untuk memperluas kesempatan pada warga awam (ordinary citizens) untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang tujuan, struktur, dan pengelolaan teknologi. Menurut Zimmerman (1995), persetujuan masyarakat—sebagai pihak yang diperintah (the governed)—merupakan sumber utama legitimasi politik pemerintah—selaku pihak yang memerintah.
Keharusan persetujuan masyarakat dipicu oleh dua pertanyaan mendasar, (1) “Apakah warga hanyalah pengguna atau konsumen teknologi atau produknya belaka?”, (2) “Bagaimana dengan mereka yang bukan pemakai dan juga tidak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang teknologi tetapi terkena dampak buruknya? Apakah hak-hak mereka?”
Berkaca pada rencana pembangunan PLTN, sudah selayaknya peran warga dinomorsatukan, kecuali jika pemerintah sedang mempraktikkan otoritarianisme teknologi. Untuk itu, penguatan tiga hak publik menyangkut pilihan teknologi, yaitu (1) hak untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi, (2) hak untuk berpartisipasi, dan (3) hak untuk memberikan persetujuan berdasarkan informasi, mutlak diperlukan. Dengan memiliki otonomi, warga berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan teknologi, dan harus dimintai persetujuan sebelum diambil sebuah keputusan.
Akhirnya, sebelum dijatuhkan pilihan terhadap PLTN—suatu teknologi yang berisiko tinggi terhadap keselamatan perorangan, masyarakat, kawasan, dan ekosistem—maka mutlak diperlukan persetujuan masyarakat. Jika tidak, meminjam ungkapan Andrew D Zimmerman (1995) dalam jurnal Science, Technology, & Human Values 20(1), “untuk membebankan risiko berdaya tinggi kepada masyarakat tanpa persetujuan mereka adalah sebuah aksi tiranik yang tak bisa dibiarkan”.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Torry Kuswardono
Pengkampanye Tambang dan Energi
Email Torry Kuswardono
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:
Fax: +62-(0)21-794 1673