Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Demonstrasi Warga Balong

Diposkan oleh admin On 8:12 AM


Pro-kontra menyoal PLTN kembali marak. Polarisasi pro-kontra ini terpaku pada dua kelompok: pendukung dan penolak. Kelompok pertama diwakili oleh para ilmuwan nuklir dan pakar PLTN, serta penggerak industri nuklir. Selebihnya, mengampanyekan diri sebagai penolak pembangunan instalasi dan pengoperasian PLTN di Indonesia. Umumnya, kelompok kedua diwakili oleh warga sekitar Muria, akademisi, ekolog, aktivis lingkungan hidup, budayawan, juga seniman yang melek lingkungan.


Argumentasi yang diusung oleh kelompok pertama, didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh sebuah Tim Nasional di bawah koordinasi BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan dukungan IAEA (The International Atomic Energy Agency), bertajuk Comprehensive Assessment of Different Energy Resources for Electricity Generation in Indonesia (CADES) di penghujung masa 1998. Penelitian ini dilatari oleh krisis multidimensi yang mendera Indonesia, sehingga dipandang cukup beralasan untuk melakukan evaluasi kembali tentang kebutuhan (demand) dan penyediaan (supply) energi, khususnya energi listrik di Indonesia.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi di Indonesia diproyeksikan meningkat di masa mendatang. Kebutuhan energi final (akhir) akan meningkat dengan pertumbuhan 3,4% per tahun dan mencapai jumlah sekitar 8146 Peta Joules (PJ) pada tahun 2025. Jumlah ini adalah sekitar 2 kali lipat dibandingkan dengan kebutuhan energi final di awal studi tahun 2000.

Ide muasal pembangunan dan pengoperasian PLTN dimulai sedari 1956 dan mengkristal pada tahun 1972, dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Inisiasi ini diawali melalui seminar-seminar di Bandung, Yogyakarta, dan Karangkates, Jawa Timur. Dari pelbagai seminar ini, dipilih 14 lokasi PLTN. Melalui proses panjang, akhirnya mengerucut menjadi 5 lokasi, hingga berujung pada 1 lokasi utama, yakni Semenanjung Muria.



Pada tahun 1985, pekerjaan dimulai dengan melakukan reevaluasi dan pembaharuan studi yang sudah dilakukan dengan bantuan IAEA, Pemerintah Amerika Serikat melalui perusahaan Bechtel International, Perusahaan Perancis melalui perusahaan SOFRATOME, dan Pemerintah Italia melalui perusahaan CESEN. Dokumen yang dihasilkan dan kemampuan analitik yang dikembangkan dengan program bantuan kerjasama tersebut sampai saat ini masih menjadi dasar pemikiran bagi perencanaan dan pengembangan energi nuklir di Indonesia, khususnya di Semenanjung Muria.

Pada tahun 1989, Pemerintah Indonesia melalui Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) memutuskan untuk melakukan studi kelayakan yang komprehensif, termasuk investigasi secara mendalam tentang calon tapak PLTN di Semenanjung Muria Jawa Tengah. Pelaksanaan studi itu sendiri dilaksanakan di bawah koordinasi BATAN, dengan arahan dari Panitia Teknis Energi (PTE), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dan dilakukan bersama-sama oleh beberapa instansi lain di Indonesia.

Belajar dari sejarah nuklir

Berkebalikan dengan kelompok pro PLTN, kelompok kontra PLTN beranggapan bahwa PLTN tak kalah menakutkan ancamannya, yakni musibah nuklir, terorisme, dan pembuangan limbah radioaktif dan radiotoksik, yang berumur amat panjang, yakni 10.000 tahun. Selain itu, PLTN juga tidak dapat dijamin keamanannya. Kecelakaan Three Miles Island di Amerika Serikat (1976) dan di Chernobyl, Rusia (1986), adalah fakta betapa berbahayanya PLTN.

Baru-baru ini, PLTN Kashiwazaki-Kariwa, Jepang, mengalami kebocoran akibat gempa bumi berskala 6,8 Richter (Senin, 16 Juli 2007). Akibat bencana alam itu, perusahaan sumber daya listrik Tokyo (TEPCO) menyebut radiasi pada kebocoran air mencapai sekitar 90.000 becquerels. Selain itu, juga dilaporkan bahwa 438 tong pakaian dan sarung tangan tercemar radioaktif bergulingan akibat gempa dan 40 di antaranya terbuka. Tak ayal, hal ini menjadi petikan pelajaran yang amat berharga bagi rencana pembangunan PLTN di Muria. Terlebih, Indonesia rawan gempa bumi.

Jika negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Swedia, dan sebagainya, perlahan menutup operasi PLTN, maka Pemerintah Indonesia seharusnya menimbang-ulang rencana pembangunan instalasi dan pengoperasian PLTN di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, yang dijadwalkan beroperasi pada 2016-2017, dengan kapasitas 4.000-6.000 megawatt.

Mengacu pada studi Australian National University yang dipublikasi sebelas tahun silam, jika terjadi kecelakaan dengan PLTN Semenanjung Muria, dalam hitungan hari debu radioaktif akan menyebar ke wilayah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Jika bencana itu berlangsung antara Oktober–April, kawasan sejauh Australia pun ikut terkena dampak.

Berkaca pada fakta PLTN dunia, perlu diakui, penggunaan teknologi nuklir dinilai relatif murah sebagai alternatif dalam upaya pengadaan listrik. Namun, di sisi lain, teknologi nuklir mengandung bahaya bagi kemanusiaan. Program senjata nuklir merupakan mimpi buruk yang mengancam kemanusiaan.

Dalam berbagai insiden radiasi dan kebocoran radioaktif juga sudah terlihat betapa bahayanya reaktor nuklir. Insiden bisa disebabkan oleh bencana alam, seperti kasus kebocoran PLTN Kashiwazaki-Kariwa, atau kelalaian manusia seperti kasus Chernobyl.

Tentu, Tepco sebagai operator sudah memerhatikan standar keamanan tinggi bagi PLTN Kashiwazaki-Kariwa. Terlebih, Jepang masyhur sebagai negeri seribu gempa. Namun, kelengkapan keamanan tingkat tinggi tak dapat mereduksi ancaman kebocoran radioaktif tetap saja terjadi. Tak mengherankan, jika wacana pembangunan PLTN di Indonesia ditentang oleh warga Muria, Jawa Tengah. Tentangan itu didasarkan pada posisi Indonesia yang berada di atas lintasan cincin api, ring of fire, dan memiliki banyak gunung api. Belum lagi mental dan budaya teknologi bangsa Indonesia yang dinilai amat lemah, juga rendah.

Tiga hak publik

Silang sengketa suara publik menyangkut rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, menyembulkan pesan keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan. Inilah wujud dari kewargaan teknologi. Dengan kata lain, di negara demokratis, persetujuan masyarakat terhadap pilihan teknologi adalah syarat mutlak dalam kekuasaan (governance) teknologi. Yaitu demokratisasi sistem teknologi untuk memperluas kesempatan pada warga awam (ordinary citizens) untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang tujuan, struktur, dan pengelolaan teknologi. Menurut Zimmerman (1995), persetujuan masyarakat—sebagai pihak yang diperintah (the governed)—merupakan sumber utama legitimasi politik pemerintah—selaku pihak yang memerintah.

Keharusan persetujuan masyarakat dipicu oleh dua pertanyaan mendasar, (1) “Apakah warga hanyalah pengguna atau konsumen teknologi atau produknya belaka?”, (2) “Bagaimana dengan mereka yang bukan pemakai dan juga tidak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang teknologi tetapi terkena dampak buruknya? Apakah hak-hak mereka?”

Berkaca pada rencana pembangunan PLTN, sudah selayaknya peran warga dinomorsatukan, kecuali jika pemerintah sedang mempraktikkan otoritarianisme teknologi. Untuk itu, penguatan tiga hak publik menyangkut pilihan teknologi, yaitu (1) hak untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi, (2) hak untuk berpartisipasi, dan (3) hak untuk memberikan persetujuan berdasarkan informasi, mutlak diperlukan. Dengan memiliki otonomi, warga berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan teknologi, dan harus dimintai persetujuan sebelum diambil sebuah keputusan.

Akhirnya, sebelum dijatuhkan pilihan terhadap PLTN—suatu teknologi yang berisiko tinggi terhadap keselamatan perorangan, masyarakat, kawasan, dan ekosistem—maka mutlak diperlukan persetujuan masyarakat. Jika tidak, meminjam ungkapan Andrew D Zimmerman (1995) dalam jurnal Science, Technology, & Human Values 20(1), “untuk membebankan risiko berdaya tinggi kepada masyarakat tanpa persetujuan mereka adalah sebuah aksi tiranik yang tak bisa dibiarkan”.


Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Torry Kuswardono
Pengkampanye Tambang dan Energi
Email Torry Kuswardono
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:
Fax: +62-(0)21-794 1673