Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

KUMPUL-KUMPUL NENG ALUN-ALUN

Diposkan oleh admin On 1:33 AM

By: Wartawan Gadhungan

Jepara, Sabtu, 31 Januari 2009

Hari ini malam Ahad. Malam bagi orang yang lagi kasmaran sebagai malam special. Muda-mudi asyik bercengkerama seolah ingin berlari dari kepenatan ritual hidup. Tertawa, bercanda, mengalahkan lelahnya jasad yang selama satu pekan terforsir. Melalaikan rutinitas sejenak untuk menyegarkan jiwa.

Aku dan sahabat-sahabat komisariat Ratu Kalinyamat PMII Jepara yang saat ini kebanyakan jomblo terpaksa puas melihat keasyikan mereka. Yah… alternatifnya kami melakukan obrolan santai dengan media internet. Tapi sayangnya, wirelessnya sampai kini belum connect karena cybernya mengalami gangguan.
Untuk mengawali pertemuan yang kami lakukan tidak lain adalah mencari amunisi. “Diskusi tanpa amunisi, basi”, Itu mayoritas prinsip kami. Iuran sewunan kang! Lumayan. Dapat jagung dan keripik singkong.
Sementara ini diskusi belum berjalan. Makan-makan dulu.

Alun-alun Jepara kini penuh menusia. Lalu lalang sepeda motor dengan auman-auman knalpot, dan komunitas motor dari berbagai tipe menunjukkan bahwa anak-anak bumi kartini sudah terbiasa dan menjadi menu wajib menghabiskan malam akhir pekan di sini.
Akhirnya pukul 21.48 wib diskusi dimulai.
Lukman hakim bertindak sebagai moderator dan sahabat Nur Kholis khauqola yang sore tadi resmi mendapat gelar S.HI dari kampus kami sebagai pemandu.
Malam ini adalah satu malam untuk mendapatkan ridha dari-Nya, karena dengan kehendak-Nya kita bisa dikumpulkan dalam forum yang insyaallah akan membawa pencerahan bagi kita semua.

Beberapa hari yang lalu Jepara kedatangan tokoh feminis kontroversial; Aminah Wadud. Gagasan-gagasan beliau tentang Islam kadang membuat bulu kuduk kita berdiri. Alasannya sederhana saja yaitu karena penuangan ide perempuan yang sampai kini belum bisa berbahasa Indonesia ini cenderung berani dan banyak melawan teori-teori agama yang selama ini sudah mapan.
Kang Kholis (sapaan beliau) memulai pembicaraan.
Wahyu pertama turun di muka bumi secara tersirat menganjurkan kita untuk selalu berdiskusi. Ini bisa menjadi spirit bagi kita sekaligus menjadi landasan teologis mengapa kita tak henti-hentinya melakukan dialektika pemikiran.
Baru tadi siang Saya secara resmi nemdapat gelar sarjana Hukum Islam. Ini semua merupakan tantangan sekaligus amanat bagi saya untuk terus memperjuangkan nilai-nilai akademik yang selama ini Saya peroleh.

Sahabat-sahabati

Tema yang kita usung malam ini sebagaimana paparan moderator sebenarnya sangat menarik, tetapi kurang afdhal akibat mayoritas dari kita mala mini tidak membawa rujukan alias tanpa referensi. Karenanya nanti metode yang kita terapkan dalam perbincangan lebih bersifat mengalir saja. Artinya bukan hanya Saya yang mendominasi forum melainkan peran aktif semua sahabat yang menjadi tuntutan.

Kehadiran Aminah Wadud membuktikan bahwa agama lahir bukan dari ruang kosong. Kehadiran Agama di bumi tak akan terlepas dari pergolakan pemikiran manusia sesuai dengan keadaan sosio-kultur pada masanya, disamping juga terpengaruh aspek politis. Apapun bentuk agamanya, sebenarnya secara historis mengalami fase kontroversial. Nabi Muhammad pun begitu. Jadi, jangan terlalu kaget jika tokoh feminis ini jadi ikon kontroversi sebagai imbas dari gagasan beliau yang dianggap keluar dari rel status quo yang ada. Pertama kali dia terkenal, saat diminta mengimami sholat Jumat dan mengiyakannya. Padahal sebagaimana kita ketahui, para ulama fiqih telah sepakat jika imam sholat (apapun bentuknya) mutlak dan selalu diperankan laki-laki. Merujuk pada kajian sejarah Islam dalam Subulus Salam karya As Son’ani kita bisa merefleksikan bahwa suatu ketika pada zaman Nabi pernah terjadi kisah mengenai Ummu Waraqah (wanita) yang mengimami sholat. Dan hadis ini diklaim sahih. Sedangkan syarat imam harus laki-laki baru muncul kemudian jauh setelah hadis di atas dan pengklaiman terhadap hadis (imam harus laki-laki) menjadi kurang sahih.

Kita bisa mengambil hikmah dari kontroversi ini yaitu mengkaji agama dengan melepaskan keegoan kita terhadap teks normatif. Kontroversi sendiri sebenarnya tergantung siapa yang menilai. Selama ini kita telah terbelenggu oleh teks-teks klasik tanpa mau mencari dan mencoba menafsirkan lebih jauh. Sebagian golongan umat Islam sudah puas ketika mampu membaca kitab klasik. Mereka bangga seolah referensi itu sudah final dan haram melenceng (meskipun sedikit) darinya.

Sebenarnya rujukan yang kita ambil dari kitab kuning sangat lemah ketika ditinjau dari segi keilmiahan. Pertama, karena tidak diketahui secara jelas pengarangnya (selain hanya kebesaran nama). Pernahkah kita menelisik lebih jauh di mana muallif tersebut lahir, tahun berapa, bagaimana kehidupan sosial budaya saat itu, apa dan siapa penguasa dominan pemerinyahannya, apa mayoritas paham masyarakatnya? Tentunya itu semua sangat mempengaruhi isi dari produk pemikiran mereka. Kedua, tidak ada tempat kota, dan nama penerbit yang jelas. Ketidaklengkapan itu akan menjadi kesulitan bagi kita untuk mencari tempat pengaduan saat terjadi kekeliruan teks. Atau ketika jumlah lembar demi lembar kurang lengkap. Bahayanya, kitab kuning lebih mudah dibajak oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab dan berniat mengacaukan agama kita.

Di PMII, prinsip free market of idea sudah mulai terkikis. Ciri-cirinya adalah kader menelan mentah-mentah dan terima jadi atas gagasan-gagasan yang terlontar dari para pendahulunya (senior) tanpa terlebih dahulu menanyakan kata “mengapa” terhadap berbagai wacana dan problematika yang berkembang. Para senior pun terkadang ada yang kurang sepakat dan merasa terancam kredibilitasnya saat kader PMII (yang notabene dicap baru kemarin sore) berani keluar dari garis pemikiran seniornya. Stempel radikal, keras, liberal, dan lain-lain langsung menghunjam dada kader “sok kurang ajar” tersebut. Akhirnya, dinamika gerakan yang muncul adalah kecondongan proseses penyeragaman ide yang secara otomatis melenceng dari prinsip pasar bebas ide. Belum lagi ketika kita terjebak pada personalitas dan figure. Kita lebih melihat siapa yang bicara, bukan apa yang dibicarakan. Perkataan senior bak firman yang wagu untuk dibantah. Meskipun kualitas pembicaraan mereka pada hakikatnya masih perlu dikaji ulang. Sebaliknya, sebagus apapun mutiara ide yang terlontar, jika keluar dari mulut kader bau kencur secara sepihak tidak digugu. Memangnya kamu siapa? (Inilah pertanyaan yang muncul). Padahal di PMII tidak mengenal konsep su’ul adab sebagaimana di pesantren. Bebas mengeluarkan ekspresi adalah yang utama. Tapi mengapa budaya pengekangan ide dan pembunuhan kreatifitas berpikir terkadang masih menggejala di alam bawah sadar kita?
Wallhu a’lamu bi al shawab