Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

MERENDA HARI ESOK DI PMII DENGAN PERUBAHAN

Diposkan oleh admin On 1:16 AM

Oleh: Ahmad Saefudin

Change, kata ampuh untuk membangkitkan semangat yang lesu. Perubahan, mutiara idaman bagi manusia-manusia pesimis yang selalu saja memandang gelap masa depan. Sesuatu itu bertahan dengan cara berubah, minimal itulah salah satu petuah yang mampu kita ambil dari Heraklitus (filosof praSokrates). Change jugalah misi yang dicanangkan oleh Barrack Hussein Obama ketika mengkampanyekan diri untuk meraih posisi Amerika Satu (dan kini telah tergapai). Spirit perubahan juga yang dimaksud Nabi Muhammad SAW saat beliau bersabda tentang kerugian bagi umat yang hari ini tidak mampu lebih baik dari hari kemarin.

Apa yang bisa kita ambil dari makna perubahan sebagai kader PMII? Padahal, sudah dari dulu insan pergerakan telah membabtis ruh dan jiwanya sebagai agent of change (pelopor perubahan). Untuk merenda hari esok di panggung pergerakan mahasiswa, perubahan merupakan kata kunci untuk menjawab tantangan stagnasi dinamika intelektual pengkaderan.

Perubahan dalam bidang apapun. Inovasi dengan metode-metode baru yang lebih kreatif, sehingga aktivitas kita mempunyai daya pemikat bagi kader. Dalam Al Qur’an secara lantang termaktub bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak merubahnya sendiri. Sayangnya, pesan kitab suci yang begitu indah itu, belum mampu dicerna oleh sebagian besar masyarakat muslim (termasuk penulis tentunya). Bahkan, orang-orang di luar agama kita (seperti Obama) lebih mampu menangkap daya magis ayat tersebut. Belum percayakah Anda jika perubahan adalah kunci untuk kita kalau ingin diperhitungkan kawan dan lawan?Lalu dari mana dan perubahan bagaimana yang akan kita terapkan di PMII?

Pertama, sistem kaderisasi. Selama ini kita terjebak oleh pengkaderan yang sifatnya formal dan nonformal. Ambil contoh, ketika membincangkan pelatihan, pasti bayangan yang menggerayangi pikiran kita identik dengan sebuah gedung, terdapat fasilitator ulung (dengan indikator lebih senior dari kita) sebagai pemandu, harus banyak orang, perlu waktu khusus yang juga terbatas. Akhirnya, metode yang berlaku biasanya, pengurus struktural (rayon, komisariat, cabang) ramai-ramai promosi kepada kader untuk membeli, paling tidak menonton pelatihan yang kita adakan. Caranya, pakai pesan singkat (sms). Kalau belum cukup, buat pamflet yang kemudian digandakan dengan ukuran dua kali lipat dengan harapan dibaca banyak orang dan endingnya mereka mau berpartisipasi. Jika belum mempan juga, pengurus tak segan untuk menyibukkan diri membuat surat undangan, surat ijin, bahkan surat pendelegasian yang intinya memohon untuk bersedia menyempatkan waktu guna mengikuti kegiatan PMII.

Lalu apa yang biasanya terjadi? Mudah ditebak; kader yang datang tak ada 40% dari jumlah undangan tersebar. Jangankan kader, pengurus struktural sendiri pun bisa dihitung dengan jari; berapa yang menyempatkan hadir di tengah kesibukan harian mereka. Imbasnya, pesimistis menghiasi panitia pelaksana kegiatan. Kecewa, marah tetapi tak tahu akan melampiaskan pada siapa, dan yang paling menakutkan, mereka kapok mengadakan agenda pelatihan berikutnya. Mereka berpikir; buat apa mengadakan pelatihan, diskusi, seminar, toh akhirnya yang datang cuma segelintir orang. Di sisi lain, kader yang diajak juga bosan dengan menu-menu yang ditawarkan PMII. Diskusi lagi diskusi lagi! (biasanya ini komentar pertama yang muncul dari mulut mereka dengan nada pesimis seolah diskusi sebagai penajam pisau analisa serta penguatan wacana kognitif tak lagi berguna). Kejumudan kaderisasi pun tak mampu lagi terhindar.
Bagaimana solusinya? Maksimalkan pengkaderan informal. Mulai sekarang, kita sedikit demi sedikit membuang mindset (pola pikir) segala sesuatu yang sifatnya formal, normatif dan penuh aturan baku. Bukankah lebih efektif ketika kita bertemu dengan sahabat lain kemudian ngobrol tentang wacana-wacana ringan di parkiran? Tak perlu ada tema khusus sehingga obrolan mengalir begitu saja tanpa mengurangi kualitas pembicaraan. Setiap kader mampu melakukannya tanpa tersekat kasta structural yang serba ribet itu. Mulailah dari hal yang kecil dan dari diri kita, maka kita akan mendapatkan hasil yang lebih besar dan berguna bagi orang lain.

Kedua, mengikis budaya sok elitis. Di antara salah satu sebab dari sekian banyak faktor yang menyebabkan kader-kader PMII lari dari peredaran adalah sikap elitis para senior. Terutama senior yang sudah duduk dalam jajaran struktural kepengurusan (maaf! Apabila ada yang tersinggung karena itu memang niat penulis). Alih-alih menyapa kader kultural, baru menjadi ketua komisariat saja (hanya sebagai contoh) kadang sudah tak mau menyapa kader-kader di struktural bawahnya.. Gengsi lah, malu lah, tidak terbiasa, dan alasan-alasan lain yang sebenarnya bisa diatasi. Akibatnya, banyak kader yang merasa kurang diperhatikan (kalau enggan dikatakan diterlantarkan) oleh sahabat-sahabat pengurus.

Ada cerita menarik yang barangkali bisa kita ambil hikmahnya.

Pada suatu hari, dua orang sahabat; Paimo dan Ngatno tersesat di tengah hutan belantara. Tiba-tiba, di hadapan mereka muncul seekor singa betina kelaparan. Karena takut, Paimo berlari dan mencari tempat perlindungan. Ketika melihat pohon besar di hadapannya, tanpa ragu dia memanjatnya. Lain dengan Paimo yang sudah ada harapan selamat, nasib Ngatno masih terkatung-katung di ujung tanduk. Dia tak tahu harus lari ke mana, karena satu-satunya pohon telah ditempati sahabatnya. Tanpa pikir panjang, akhirnya dia pura-pura mati dengan cara berbaring dan menahan napas.

Singa yang lapar itu pun mendekati tubuh Ngatno dan mengendus-endusnya. Dari atas pohon, Paimo melihat gerak-gerik Singa yang terus saja mengelilingi tubuh sahabatnya. Setelah beberapa lama, akhirnya Singa pun pergi tanpa hasil karena mengira mangsanya telah mati.

Kemudian, Ngatno bangun dari kepura-puraannya. Paimo tertawa senang sekaligus heran
sang Singa tak jadi melumat sahabatnya. Secepat kilat dia turun dari pohon dan menyambangi Ngatno.

Dia bertanya pada Ngatno, “Apa yang dibisikkan Singa kepadamu?”.
“Singa bilang kepadaku, besok-besok lagi jangan berjalan dengan sahabat egois yang tega meninggalkan sahabatnya saat terjadi kesulitan” jawab Ngatno.

Silahkan renungi kisah di atas dan refleksikan dengan organisasi kita!

Ketiga, memaksimalkan PMII sebagai second university (kampus kedua). Sadarkah kita bahwa kampus kita masih kalah mentereng dengan kampus lain? Tahukah kita kalau sistem perkuliahan di kampus kita selangkah (atau mungkin beberapa langkah) di belakang kampus lain? Jika kita mau jujur (setidaknya pada diri sendiri), sudah berapa persen input intelektual yang kita dapat dari kampus? Mampukah menjawab tantangan dunia yang sebenarnya (dunia masyarakat)? Tentunya batin masing-masing yang bisa menjawabnya. Tetapi, sebagian besar dari kita sepakat apabila kuliah saja sebenarnya tidak cukup. Untuk menutupi berbagai lubang kelemahan di kampus, kita boleh mengunduhnya dari organisasi kemahasiswaan (baca: PMII). Di kampus, kita tak pernah diberi mata kuliah analisa sosial yang berfungsi membedah problematika masyarakat. Juga tak diajarkan prinsip-prinsip ke-leadership-an yang sangat dibutuhkan mahasiswa. Masih banyak kurikulum lain yang hanya bisa kita dapatkan melalui media organisasi (bukan kampus).
Dengan menjadikan PMII sebagai second university, paling tidak kita sudah mulai berani menancapkan motivasi untuk berdiri sama tegak dengan mahasiswa dari kampus lain, meskipun kampus kita kalah mentereng. Setiap saat kita tak akan pernah lagi minder atau takut berdialektika wacana dengan mereka, walaupun sistem perkuliahan kita kurang mendukung. Kita juga akan mendapatkan input yang berkualitas sebagaimana pendapatan input mahasiswa yang menimba ilmu di perguruan tinggi yang lebih good. Sudahkah kita melakukannya?