Oleh : Ahmad Saefudin
Seperti biasanya, alumni Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Ratu Kalinyamat INISNU Jepara tahun 2008 melanjutkan follow upnya. Setelah satu bulan lalu mengadakan diskusi “Advokasi Kebijakan dan Anggaran” bersama Bapak Ismatur Rohman dari LAKPESDAM NU Jepara, mereka sepakat mengembangkan potensi di bidang kefasilitatoran. Sebenarnya, pelatihan fasilitator atau Training of Fasilitator (TOF) bukanlah sesuatu yang baru di dunia organisasi pergerakan. Mengingat tujuan jangka panjang agar PMII Jepara (dan PMII secara umum) tidak lagi bingung mencari fasilitator handal siap pakai, maka inisiasi ini mutlak termanifestasikan.
Teknis pelatihan yang terkonsep agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jika dahulu, peserta pelatihan mendapat cekokan materi, teori, dan praktek fasilitasi pada tahap awal, kemudian dituntut mempraktrekkan dalam forum, kali ini menggunakan metode terbalik. Yaitu, peserta praktek menjadi fasilitator tanpa dibekali teori, baru kemudian mengkaji teori-teori secara sistematis bagaimana menjadi fasilitator yahng handal.
Pertemuan pertama menjaring tiga kontestan yang siap memfasilitasi forum. Masing-masing diberi alokasi waktu tiga puluh menit untuk menyampaikan materi yang sebelumnya ditentukan oleh mereka sendiri sekaligus session tanya jawab.
Kebanyakan dari mereka masih canggung. Ini perlu dimaklumi karena selain mereka belum pernah mendapatkan teori kefasilitatoran, juga baru pengalaman pertama. Gugup, tidak percaya diri, kurang konsentrasi, bahkan tidak tahu harus memulai dari mana (itulah perasaan yang terjadi pada mereka). Ada juga yang sudah mempersiapkan materi dengan berbagai konsepnya, tetapi saat di depan forum menjadi lupa, hilang tak mengerti apa sebabnya. Keringat dingin pun tak jarang keluar.
Yang menjadi catatan penting adalah mereka sudah berani maju dan mencoba. Bukankah untuk menempuh jalan panjang perlu ribuan langkah? Dan ribuan langkah itu perlu permulaan alias langkah awal? Sahabat-sahabati yang memberanikan diri praktek menjadi fasilitator berarti sudah melakukan langkah pertama. Tinggal menunggu waktu apakah langkah mereka akan berlanjut atau berhenti sampai di situ saja serta jalan di tempat. Semua tergantung mereka. Paling tidak mereka sudah berani memulai.
Pertemuan ke dua masih dengan metodologi yang sama yaitu tiga kontestan praktek fasilitasi kemudian dilanjutkan teori. Dalam agenda lanjutan ini, kebanyakan dari mereka yang praktek sudah sedikit mengalami kemajuan jika dibandingkan pertemuan pertama. Tampaknya, dengan persiapan sungguh-sungguh, maka hasil yang dicapai pun maksimal. Padahal mereka sama sekali blank dan buta teori fasilitator.
Setelah semua kontestan selesai, tibalah saatnya bagi mereka untuk menerima materi kefasilitatoran. Tahap awal perlu dibedakan antara fasilitator dan trainer. Jika melihat sekilas, mungkin asumsi kita tak ada perbedaana antar keduanya. Namun, jika ditilik lebih lanjut, ada sedikit perbedaan dari segi peran. Fasilitator lebih mengedepankan keaktifan audiensnya sedangkan trainer lebih mendominasi.
Fasilitator minimal terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Fasilitator pelatihan : orang yang berperan memfasilitasi pelatihan.
2. Fasilitator materi : orang yang berperan menyampaikan materi.
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengingat kembali dua metode dalam proses penyampaian pembelajaran, yakni:
a. Metode Andragogi
Berasal dari dua kata yaitu andra yang berarti dewasa dan agogos yang bermakna memimpin. Berarti metode andragogi yaitu cara fasilitasi model orang dewasa. Teknik ini mangutamakan peran dari audiens dan tugas fasilitator hanya mengarahkan, mempermudah kerumitan, dan berusaha menyimpulkan ide gagasan terserak yang keluar dari pemikiran audiens. Metode ini tepat jika audiens yang dihadapi sudah mempunyai bekal yang cukup atas materi-materi yang akan disampaikan dan biasanya diterapkan dalam lembaga pendidikan tingkat atas dan pendidikan tinggi.
Ibarat proses pengisian air dalam gelas, dalam metode ini fasilitator beranggapan bahwa audiens adalah sebuah gelas yang sudah terisi air tetapi belum penuh. Tugas fasilitator adalah memenuhi gelas tersebut dan kalau bisa sampai tumpah dengan cara mengeksplorasi ide dari audiens. Feed back (umpan balik) sangat mendukung metode ini dengan harapan fasilitator tidak mendominasi forum.
b. Metode paedagogi
Yaitu kebalikan dari andragogi. Di sini, peran fasilitator lebih aktif dari pada audiens sekaligus menjadi sumber informasi. Metode yang kerap dipakai adalah ceramah. Sangat cocok ketika diterapkan di lembaga pendidikan kanak-kanak maupun pendidikan dasar. Gaya top down (dari atas ke bawah) mendominasi berjalannya forum.
Dua metode di atas saling melengkapi karena memang pada hakikatnya tidak ada satu metode pun yang seratus persen efektif.
SYARAT FASILITATOR
Fungsi fasilitator tidak lain dan tidak bukan adalah mempermudah sesuatu yang rumit (to make easy). Jadi, ketika ada fasilitator yang justeru mempersulit sesuatu yang mudah, bisa dikatakan sebagai fasilitator yang gagal.
Di antara kualifikasi kelayakan fasilitator antara lain:
1. Percaya diri
Tidak sedikit dari kita bersikap kurang percaya diri saat memfasilitasi sebuah pelatihan. Banyak factor yang melandasinya. Tidak mampu, kurang berbakat, malu, gerogi, takut, dan lain sebagainya. Solusinya adalah kita harus mulai belajar berani dan praktek. Experience is the best teacher (pengalaman adalah guru terbaik) kiranya perlu tertanam dalam jiwa fasilitator. Praktek, praktek, dan praktek. Perbanyak jam terbang dalam memfasilitasi sehinga dengan sendirinya akan terbiasa. Lambat laun, ketakutan, ketidak-PD-an, keminderan, dan perasaan penghambat keberhasilan lainnya akan hilang. Bakat akan terasah ketika kita mampu memaksimalkan potensi yang ada dalam diri. Mustahil jika ingin meraih predikat fasilitator handal tanpa jam terbang yang cukup.
Sebenarnya perasaan-perasaan negative di atas tidak serta merta hilang begitu saja dan suatu saat akan muncul dalam diri fasilitator professional sekalipun. Tetapi, dengan kebiasaan memfasilitasi, kita akan menemukan penawarnya.
Jangan takut salah, apalagi gagal. Di dunia ini banyak orang yang gagal dan itu sangat wajar. Namun, sangat sedikit dari mereka yang mampu bangkit dari kegagalannya. Mencoba, mencoba, dan terus mencoba. Belajarlah dari kegagalan!
2. Semangat dan enerjik
Fasilitator mau tidak mau dituntut mempunyai aura semangat yang mampu membangkitkan kelesuan forum. Entah apa anggapan audiens ketika melihat fasilitator yang lemas, kurang bergairah, dan penuh kekalutan. Tak sedap dipandang. Bagaimana pembicaraan fasilitator mau didengarkan jika tak ada spirit dalam jiwanya?
Gunakanlah bahasa provokatif! Kalau perlu kutiplah kata-kata motivasi dari para tokoh terkemuka agar audiens semakin semangat mendengarkan pembicaraan kita.
3. Jujur dan terbuka
Perlu diingat bahwa fasilitator tidak harus mengetahui seluruh materi. Jika memang tak bisa menjawab pertanyaan dari audiens, alangkah lebih baik kita jujur pada mereka dari pada memaksakan jawaban yang belum tentu tepat. Ini sebagai langkah antisipasi dari jurang kesalahan.
4. Ramah, bersahabat, dan komunikatif
Fasilitator yang baik besikap ramah pada audiens. Jangan sungkan menatap mata mereka, menyambangi tempat duduk mereka, dan murah senyum. Jalinan keakraban akan terbina melalui kontak verbal maupun non-verbal. Hindari berdiri atau hanya duduk di tempat yang sama dalam waktu yang lama karena akan menimbulkan kejenuhan audiens. Buatlah mereka merasa diperhatikan!
5. Perlu perhatian
Fasilitator dilarang egois; hanya mementingkan ego pribadinmya. Tulislah gagasan yang sempat tertelurkan dari kepala audiens dan tidak sekali-kali mengabaikannya. Dengan menulis semua ide yang terlontar (terlepas dari salah dan benar) , secara otomatis akan membantu fasilitator dalam mempermudah sistematisasi penyimpulan.
6. Keterampilan komuniksi
Keterampilan ini dapat dibedakan menjadi dua bagian:
a. Keterampilan komunikasi dalam mengungkapkan materi
Usahakan sebelum melaksanakan fasilitasi pelatihan, fasilitator mempersiapkan sebaik-baiknya tentang garis-garis besar atau poin penting yang akan disampaikan. Karena waktu yang terbatas, terkadang konsep yang telah tersusun harus berubah. Karena itu, fasilitator harus pandai mengatur waktu. Bedakan antara apa yang seharusnya dan apa yang sebaiknya disampaikan. Dengan begitu, fasilitator mempunyai prioritas, bagian mana saja yang terlebih dahulu disampaikan kepada audiens.
Jangan sekali-kali menghapal karena akibatnya bisa mengacaukan pikiran ketika terjadi lupa.
b. Keterampilan komunikasi dalam mendengarkan
Yang dimaksud mendengarkan di sini adalah medengarkan pendapat audiens. Biarkan audiens mengeluarkan apa yang mereka dapat sebelumnya baik berupa tanggapan, sanggahan, pertanyaan, ataupun pernyataan. Justeru semua itu menjadi tambahan referensi bagi fasilitator.
TEKNIK DAN METODE FASILITASI
Apa perbedaan antara teknik dan metode?
Teknik lebih bersifat operasional sebagai aktualisasi dari metode yang direncanakan. Konsep dan segala sesuatu pra-fasilitasi merupakan kumpulan metode yang kemudian diaplikasikan dalam forum. Proses penerapan metode inilah yang disebut teknik fasilitasi.
Teknik fasilitasi di antaranya:
1. Skill, meliputi:
a. Listening Skill : kemampuan fasilitator da lam mendengarkan audiens.
b. Expressing Skill : kemampuan fasilitator mengekspresikan materi dalam forum.
c. Observing Skill : kemampuan fasilitator dalam menyerap pendapat audiens.
d. Interviewing Skill: kemampuan fasilitator dalam menggali ide gagasan audiens melalui pertanyaan dan umpan balik.
2. Teknik, mencakup:
a. Structure Experience (mengeksplorasi pengalaman fasilitator)
Ceritakan pada audiens dan yakinkan mereka jika kita layak menjadi fasilitator.
b. Insturument (alat bantu)
Semakin banyak fasilitator mampu menggunakan media fasilitasi (seperti computer, OHP, lap top, dan sebagainya), semakin mempermudah penyampaian materi dalam forum. Media bisa menjadi senjata ampuh untuk melumatkan hati audiens saat fasilitator lihai mengoperasionalkannya. Juga bisa menjadi bom waktu penghancur fasilitasi ketika fasilitator gagap mengoperasionalkannya.
3. Teori, melingkupi:
a. Kepribadian.
Fasilitator seyogyanya mempunyai kepribadian baik, setidaknya di mata audiensnya. Karena, sebagus apapun tekniknya, semenarik apapun materinya, seolah tiada guna tanpa dibarengi kepribadian yang baik.
b. Etika
Sopan santun dan tatakrama dalam forum perlu dijaga oleh fasilitator. Kenali latar belakang audiens, bagaimana latar belakang pendidikannya, berapa usianya, apa tujuan mereka, dan lain-lain. Ini akan memudahkan fasilitator meraih tujuan fasilitasi dengan tetap bersikap etis.
Comments for this post
All comments